Lampiran 3. Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara.
Dewan Senat Universitas Gajah
Mada, 7 November 1956
Saudara Ketua Sidang Senat Terbuka!
Perkenankan saya membuka kata sambutan kami ini dengan ucapan terima
kasih yang seikhlas-ikhlasnya kepada Dewan Senat Universitas, yang dalam
sidangnya tanggal 7 November 1956 telah memutuskan akan pemberian gelar
Doktor Honoris Causa kepada kami.
Ucapan terima kasih itu saya tujukan pula kepada Saudara Prof. Dr. Sardjito
yang selaku Presiden Universitas telah berhasil mengumpulkan berbagai unsur, yang
dianggap cukup penting, untuk dipakai sebagai dasar atau alasan guna
mempertanggungjawabkan Senat tersebtu.
Saudar Ketua!
Dari pidato Prof. Sardjito, yang penting ringkas dan tegas itu, dapatlah saya
menangkap dua buah kesan utama.
Pertama, beliau tidak saja meninjau objek penyeledikannya secara eksklusif,
namun memasukkan pula “penyandra” mengenai pribadi kami ke dalam uriannya.
Kedua, dengan tegas beliau menghubung-hubungkan, bahwa menyatukan tiga
lapangan pekerjaan kami, yaitu:
1. Perjuangan kemerdekaan nasional,
2.
Perjuangan pendidikan dan
3. Pejuang kebudayaan, menjadi satu “tri-tunggal”.
Mengenai kesan yang pertama, yaitu bahwa disamping pengutaraan dasardasar yang pokok serta garis-garis besarnya, Prof. Sardjito masih menganggap perlu
menyandra sifat pribadi kami, itu menunjukan ketelitian beliau dalam menyelidiki
soal yang sedang beliau hadapi. Memang kebaikan sifat-sifat dasar sertai kebaikan
garis-garis besar atau bentuknya ataupun organisasinya, belum menjadi pasti
adanya isi serta irama atau cara melaksanakan yang baik. Dalam pada itu harus
kita sadari, bahwa “sifat” dan “bentuk” adalah unsur-unsur yang timbul karena
pengaruh kodrat alam, sedangkan “isi” dan “irama” sangat lekat hubungannya
dengan zamannya dan pribadinya seseorang yang bersangkutan empat ukuran ini,
S.B.I.I (Sifat, Bentuk, Isi dan Irama) sungguj perlu dipakai untuk mendapatkan nilai
yang lengkap dan benar.
Saudara Ketua!
Cara penilaian dengan memaknai 4 ukuran tersebut, sungguh perlu digunakan,
lebih-lebih di zaman sekarang, berhubungan dengan kerapkalinya kita harus
menghargai dan menilai anasir-anasir kebudayaan yang datang dari dunia luar,
terutama dunia Barat di sini sampailah kita pada saat baik untuk mulai
menyinggung-nyinggung soal kebudayaan, yang termasuk dalam kesan yang
kedua. Kini kita berada di zaman “akulturasi” atau pertukaran kebudayaan dengan
dunia Barat. “Sifat” pokok dari tiap-tiap kebudayaan adalah universal, yang boleh
dianggap sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa murah kepada makhluk
manusia untuk mempertinggi hidup dan penghidupannya. Adapun “bentuk” dari
kebudayaan tadi terjadi karena pengaruh kodrat alam, yang di dunia ini berlainlainan macam dan rupanya. Adapun “isi” zaman itu tidak lain daripada waktu yang
ditempati masyarakat, yang biasanya menunjukan sifat-sifat dan corak warna
hidup kejiwaan yang agak khusus dan yang terus menerus berganti-ganti isinya.
Akhirnya tentang “irama” yang harus dipahami bahwa cara menggunakan segala
unsur kebudayaan itu menjadi tanggungjawab tiap-tiap orang atau masyarkat
yang berpribadi.
Adapun semboyan yang mengandung filsafat dalam soal akulturasi yang telah
kita masukan dalam rangkain asas-asas ke-Tamansiswaan-an. Yaitu “Asas Tir-con”
yang mengajarkan, bahwa di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar
harus kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan
kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya jika kita sudah bersatu
dalam alam universal, kita bersama mewujudkan persatauan dunia dan manusia
yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam
kebudayaan sedunia, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah
suatu bentuk dari sifat “Bhineka Tunggal Ika”
Dalam keterangan tentang sifat dan dasar di atas, istilah “bentuk” ini saya
gambarkan sebagai “organisasi”. Dalam hal ini haruslah kita ingati, bahwa tiap-tiap
organisasi, agar bermanfaat, harus bersifat “organis” yang berarti hidup, jangan
sampai suatu bentuk organisasi menghalangi-halangi terlaksananya kenyataankenyataan yang menjadi tujuan organisasi itu. Memang benar organisasi perlu untuk
tata tertibnya keadaan lahir, akan tetapi jangan organisasi itu bertentangan
dengan hakekatnya suatu kenyataan. Ingatlah saya akan suatu pelajaran yang
dipentingkan dalam filsafat Islam, yang berbunyi “Syari’at tidak dengan hakikat
adalah kosong” sebaliknya “Hakikat tidak dengan syari’at adalah batal”.
Dengan sendiri teringatlah saya akan petuah suci, berasal dari Sultan Agung
Mataram, yang terkenal sebagai Aulia, sebagai Pujangga dan Pemimpin Negara di
abad yang ke-17. Menurut Sultan Agung, kalau syari’at sembahyang tidak dituntun
oleh kesucian jiwa (yang disebut gending olehnya), maka batallah sholatnya orang
terhadap Yang Maha Kuasa. Tak ada perlunya orang memelihara hidup kebatinan,
jika tidak berisikan pengluhuran Zat Allah Yang Maha Kuasa.
Bagi mereka yang ingin mengetahui wejangan Sang Sultan Agung mengenai
hal tersebut, baiklah di sini saya sajikan naskah yang orisinil, terkutip dari Serat Sastra
Gending ciptaanya.
Pramila gending yen bubrah,
Gugur sembahe mringi Widdhi,
Batal wisesaning salat,
Tanpa gawe ulah gending,
Denge ngran temabgn gending:
Tuk ireng swara linuhung,
Amuji asamaning Zat,
Swara saking osik wadhi,
Osik mulya wentaring cipta surasa
Saudara Ketua!
Dalam pidatonya maka Prof. Sardjito menyatakan, bahwa hidup dan pekerjaan
kami menunjukan banyak facet-facetnya, yang tidak memudahkan bagi Senat
untuk memilih keilmuan gelar apa yang akan disajikan. Ada yang menitikberatkan
pengharaannya kepada keahlian kami dalam soal “Pendidikan”, karena menurut
Prof. Sardjito yang sekarang dilihat oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang
sungguh besar, ekstensif dan intensif, ialah dilangsungkan pengguruan Tamansiswa.
Sebaliknya ada yang beranggapan, bahwa hal itu hanya mengenai satu facet saja
dan dengan sendirinya dianggap belum cukup.
Akhirnya oleh Dewan Senat
ditetapkan, bahwa pengharaan serta penilaian terhadap apa yang oleh Prof.
Sardjito disebut “jasa-jasa” kami, ialah dengan memandang pribadi kami sebagai
perintis kemerdekaan nasional, perintis Pendidikan nasional dan perintis
kebudayaan nasional.
Saya sendiri dapat memahami sepenuhnya apa yang dinyatakan oleh Dewan
Senat itu. Bahkan kami dapat membenarkan pula penilaian tersebut. Bahkan kami
dapat membenarkan pula penilaian tersebut. Seperti berulang-ulang telah saya
nyatakan sendiri, Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih
kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar
segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaikbaiknya. Dan dapat kita teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang. Dalam
pada itu, sudah pada waktu berdirinya Tamansiswa saya beranggapan (dan ini
tidak disinggung-singgung oleh Prof. Sardjito), bahwa kemerdekaan nusa dan
bangsa untuk mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat, tidak mungkin
tercapai hanya dengan jalan politik. Terhadap pergerakan politik, orang tahu akan
gambaran khayal kami, yang kerap kali juga sudah kami jelaskan, bahwa untuk
dapat bekerja di sawah dan ladang dengan tentram dan seksama (yakni tugas
cara pendidik dan para pejuang kebudayaan) sangat kita perlukan adanya pagar
yang kokoh dan kuat, untuk menolak segala bahaya yang mengancam dari segala
kekuasaan dan kekuatan yang mungkin dapat merusak sawah dan ladang serta
tanaman-tanamannya, yang kita pelihara. “Pagar” tadi tidak bukan dan tak lain
adalah pergerakan politik rakyat kita. Itulah sebabnya selalau adanya hubungan
yang baik dan erat antara pergerakan pendidikan dan kebudayaan Tamansiswa
dengan pergerakan politik.
Ada satu hal di dalam pidato Prof. Sardjito yang perlu kami beri sedikit
penjelasan. Saudara Sardjito menganggap “aneh” bahwa dari pemimpinpemimpin kita sekarang ini sebagian terbesar adalah buah dari pendidikan dan
pengajaran di zaman Belanda itu, namun begitu toh tidak dapat dikatakan, bahwa
mereka itu terasing dari dan kehilangan dasar-dasar nasionalnya.
Saudara Ketua!
Dalam hal ini harus kita insyafi, bahwa para penguasa bangsa Belanda di
Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan
kebudayaan.
Mereka semata-mata mementingkan pengajaran, yang
intelektualitas serta materialistis, karena pendidikan di situ semata-mata berupa
pendidikan intelek. Dalam keadaan yang sedemikian, anak-anak dan pemudapemuda kita, yang di rumah keluarganya, masih dapat mengecap suasana kultural
tetap mendapatkan pengaruh dari segala apa yang terus hidup di dalam berbagai
tradisi kebudayaan, sekalipun dalam lapangan ini belum ada pendidikan yang
modern. Keuntungan dari keadaan tersebut ialah, bahwa banyak pemimpinpemimpin di zaman sekarang itu tidak terasing atau kehilangan dasar-dasar
nasionalisnya. Ini bukan barang “aneh”, sebaliknya hal yang “logis” yang dapat
dimengerti, hal biasa, hal yang semestinya. Saya sendiri adalah produk dari
pendidikan dan pengajaran Barat, karena di waktu kecil saya belum ada perguruan
nasional. Semoga soal ini kita perhatikan secukupnya, yaitu bahwa disamping
pendidikan kecerdasan pikiran harus ada pendidikan yang kultural. Jangan sampai
kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran yang sepi pengaruh
kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda, dengan pendidikannya
yang intelektualis, materialisi dan . . . . . kolonila itu.
Baiklah di sini kita sadari, bawah pendidikan dan pengajaran secara Barat tidak
boleh mutlak kita anggap jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang harus kita kejar,
sekalipun dengan melalui sekolah-sekolah Barat. Kita mengerti, bahwa juga di
Indonesia kini masih banyak pendidikan dan pengajaran yang dilakukan secara
sistem Barat. Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak-anak kita diberi pendidikan
kultural dan nasional, yang semua-semuanya kita tujukan ke arah keluruhan
manusia, nusa dan bangsa, tidak dengan memisahkan diri dari kesatuan
kemanusiaan.
Untuk dapat mencapai tujuan ini cukuplah di sini saya nasehatkan:
didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan
zamannya sendiri. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan
adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya kita tiru secara mentah-mentah,
namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang
berharga.
Tentang pengertian “keluarga” yang baru saja saya singgung sebagai
lingkungan yang melindungi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak dalam
hidup kebudayaannya, perlulah di sini diketahui, bahwa di dalam sistem
Tamansiswa hidup keluarga itu mendapt tempat yang luhur dan istimewa. Sebagai
masyarakat yang paling kecil namun yang paling suci dan murni dalam dasar-dasar
sosialnya, lingkungan keluarga itu merupakan suatu pusat pendidikan yang
termulia. Cinta kasih, semangat tolong-menolong, rasa kewajiban berkorban dan
ikut bertanggungjawab dan lain-lain, pendek kata segala unsur-unsur dari budi
sosial dan kesusilaan dalam sifat-sifat pokoknya terdapat di dalam hidup keluarga.
Selain itu, seperti sudah disinggung di atas, lingkungan keluarga inilah yang
meneruskan segala tradisi, baik yang mengenai hidup kemasyarakatan,
keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain-lain unsur daripada budi
kesusilaan. Berpisahnya anak-anak dengan keluarganya berarti kehilangan
tuntunan ataupun pedoman, untuk laku hidupnya dan membahayakan
keselamatan dan kebahagiaannya sebagai manusia yang susila dan
bertanggungjawab.
Tak usah saya jelaskan di sini, bahwa menurut statistik secara
modern dapat dibuktikan, bahwa kejahatan-kejahatan kriminal sebagian besar
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai hidup kekeluargaan dan atau
berasal dari keluarga yang rusak kesusilaannya. Semoga hal yang amat penting ini
jangan dilupakan oleh pemimpin-pemimpin perguruan kita di Indonesia.
Nasehat-nasehat serupa yang saya ucapkan itu adalah perlu, karena sudah
sejak lama rakyat kita boleh dikata keputusan tradisi. Kita tidak tahu lagi bagaimana
sifat dan bentuk serta isi dan irama pendidikan dan pengajaran di zaman dahulu
kala. Rakyat kita sekarang berhasrat besar untuk mengadakan pembangunan, juga
di lapangan kebudayaan dan pendidikan. Saya peringatkan di sini, bahwa hingga
sekarang kita kenal kebudayaan di zaman dulu. Pujanga-pujangga kita dan Ki
Dalang di bawah blencong hingga kini masih menceritakan adanya cantrik, cekel,
manguyu, jejanggan, malah sebutan-sebutan untuk student-student putri, seperti
mentrik, sontrang, dahyang, bidang dan lain-lain. Pula nama-nama untuk guru-guru
besarnya, seperti dwijawara, hajar, pandita, wiku, begawan dan sebagainya.
Adanya isitilah-istilah itu membuktikan, bahwa di zaman dahulu sudah pernah ada
perguruan-perguruan luhur, dengan peraturan-peraturan tata tertib yang
berdiferensiasi, dimana terbukti para wanita diperbolehkan mengikuti pelajaran di
pawiyatan-pawiyatan luhur. (Barang tentu kita semua tahu, bahwa di Nederland
misalnya, di zaman serratus tahun yang lalu, kaum perempuan dilarang menjadi
student. Dr. Aletta H. Jacobs almarhum, yang pernah hidup di zaman kita ini, adalah
student perempuan yang untuk pertama kali diperbolehkan mengikuti perguruan
tinggi, sampai menempuh ujian terakhir dan memperoleh derataj “medika”).
Yang saya utarakan ini adalah termasuk pengetahuan “spekulatif” tetapi cukup
penting kira saya untuk diselidiki secara ilmiah “positif” oleh para ahli sejarah dan
kebudayaan kita.
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita
tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman
lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita, yang sekarang
sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, di zaman yang kita tempati
sekarang ini, pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada
yang kita lihat sekarang; mulai di taman kanak-kanak sampai di universitasuniversitas. Saya mengerti, bahwa bentuk, isa dan irama yang kita dapati di zaman
sekarang ini, baik yang menjadi milik badan-badan perguruan partikelir maupun
yang dipelihara oleh Kementerian P.P dan K, pada umumnya masih merupakan
doordruk (sekalipun doordruk yang sudah dikoreksi di sana-sini) dari sekolah-sekolah
yang terpakai dalam sistem Belanda. Malah kadang-kadang masih nampak juga,
sekalipun suram-suram, tendens-tendes yang materialistis dan . . . . kolonial.
Saya mengerti, Saudara Ketua, bahwa rakyat kita merasa wajib, segera atau
dalam waktu yang singkat melakukan pembangunan di lapangan pendidikan dan
pengajaran. Akan tetapi tidak ada contoh-contoh yang positif, yang lebih baik dan
cepat kita tiru. Kita lihat di zaman sekarang masih dipakainya bentuk-bentuk rumah
sekolah, daftar-daftar pelajaran yang tidak cukup memberi semangat mencari ilmu
pengetahuan sendiri, karena tiap-tiap hari, tiap-tiap triwulan, tiap tahun pelajarpelajar kita terus terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang
intelektualis. Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar belajar dengan tentram,
karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutantuntutannya.
Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya;
sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raportnya atau untuk dapat ijazah. Dalam soal ini sebaliknyalah kita para pemimpin
perguruan, bersama-sama dengan Kementerian P.P. dan K. mencari bagaimana
caranya kita dapat memberantas penyakit exam cultus dan diploma jacht itu.
Saudara Ketua, saya sendiri sebagai pemimpin perguran menyadari, bahwa
maksud-maksud yang baik dari para perintis acapkali gagal, tidak berdaya untuk
mempengaruhi masyarakat yang sudah terlanjur dalam batinnya terikat oleh
bentuk, isi dan irama yang ada di dalam sistem-sistem pendidikan dan pengajaran
secara Barat, sekalipun masyarakat tadi insyaf benar-benar, bahwa siswa
pendidikan Barat tersebut sebenarnya tidak cocok dengan kebutuhan hidup kita,
baik lahir maupun batin. Syukurlah sejak tercapainya kemerdekaan nusa dan
bangsa kita, tampak adanya keinginan, kehendak, bahkan hasrat dari berbagai
golongan rakyat, untuk memperbaiki segala apa yang tidak atau kurang beres itu.
Syukurlah pula, bahwa Kementerian P.P. dan K. kita, yang berturut-turut dipimpin
oleh orang-orang yang ahli, makin lama makin nampak keinsyafannya dan
kesadarannya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang perlu-perlu.
Sudara Ketua, janganlah sekali-kali orang mengira, bahwa kita harus menolak
pengaruh-pengaruh kultural dari dunia luar umumnya, dunia Barat khususnya.
Jangan sekali-kali! Sebaliknya janganlah kita memasukan bentuk, isi dan irama dari
luar yang tidak perlu. Dalam hal ini kita wajib mewujudkan kepada dunia, bahwa
kita cukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih sendiri segala apa
yang kita perlukan. Indonesia bukan Nederland, bukan Inggris, bukan Amerika.
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Padang. . . . bukan
Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningan, bukan juga London, Cambridge, bukan
juga kota-kota universitas Amerika. Memang benar, kita harus meniru segala apa
yang baik dari negeri manapun. Ambliah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia,
yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional kita.
Sebaliknya, rakyat kita harus berani, sanggup dan mampu untuk mewujudkan
bentuk sendiri, isi sendiri dan irama sendiri, seperti yang layak boleh diharapharapkan dari bangsa yang telah memasuki dunia internasional, tetapi sebagai
bangsa yang berpribadi.
Marilah sekarang kita meninjau secara singkat berturut-turut soal-soal Politik
Pendidikan Kolonial zaman V.O.C serta rumusan dalil-dalil mengenai Pendidikan
dan Pendidikan Nasional, serta Kebudayaan.
POLITIK PENDIDIKAN KOLONIAL DI ZAMAN VOC DAN HINDIA BELANDA
Pada zaman beralihnya V.O.C (Vereenigde Osst-Indische Compagnie) menjadi
pemerintah “Hindia Belanda”, maka sebenarnya sekali-kali tidak ada perubahan
sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah air kita. Pada hakekatnya
pemerintah HB (Hindia Belanda) merupakan konsolidasi dari segala apa yang
tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya kebangunan
nasional pada permulaan abad ke-20, bersama waktu dengan mulai tumbuhnya
aliran “kolonial modern”, yang disebut ethisce koers atau ethisce politiek di
Nederland, barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah kolonial.
Sayang hanya mengenai beberapa hal; antara lain yang bertali dengan
pendidikan dan pengajaran bagi rakyat, hal mana kini akan kami jelaskan lebih
lanjut.
Seperti diketahui maka dalam zaman OIC (Oost Indische Compagnie) bangsa
Belanda menganggap tanah air kita semata-mata sebagai obyek perdagangan.
Mencari dan mendapatkan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya itulah
maksud dan tujuan dari segala usahanya dalam segala lapangan. Tidak lebih dan
tidak kurang. Pendidikan dan pengajaran diserahkan sama sekali kepada para
pendeta Kristen. Kemudian ada instruksi yang menegaskan, bahwa kepada fihak
rakyat hendaknya diberi pengajaran membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi
hanya seperlunya saja dan melulu untuk mendidik orang-orang pembantu dalam
beberapa usahanya. Jadi semata-mata guna memperbesar keuntungan
perusahaan-perusahaannya sendiri.
Para zaman Napoleon Bonaparte jatuh kekuasaannya, dan pemerintah
Nederland dibentuk kembali (tahun 1816), maka di negeri kita Indonesia oleh
pemerintah HB diadakan peraturan-peraturan pemerintah pokok, semacam
“Undang-Undang Dasar” (yang disebut Regeeringsreglement, singkatan dari
Replacement op het beleid van de Regeering van Nederlands Indie). Dalam R.R
1818 itu mulai disebut tentang pemeliharaan pengajaran, akan tetapi tidak pernah
dilakukan. Pada tahun 1836 dirubah dan dalam R.R 1836 tadi sama sekali tidak
disebut-sebut lagi tentang pangajaran. Baru dalam R.R 1854 terdapat pasal-pasal
yang mengenai pendidikan dan pangajaran. Diantaranya dicantumkan pasal 125
yang berbunyi: Het openbaar onderwijs vormteen voorwerp van aanhoudende zorg
van de gouyerneur general (Pengajran negeri adalah hal yang senantiasa menjadi
perhatian gubernur-jendral). Ketetapan ini sungguh baik, akan tetapi pasal-pasal
berikut berikutnya membuktikan jiwa kolonialnya pemerintah HB. Pasal 126 misalnya
menetapkan, bahwa pemberian pengajaran kepada anak-anak bangsa Eropa
dibolehkan secara bebas (Het onderwijs aan Europeanen is vrij). Pasal 127 berbunyi
selengkapnya: Voldoend openbaar lager onderwijs moet worden gegevan overall,
waar de beoefte der Europeses bevolking dit voderet en de omstandingheden het
teolaten, yang artinya ialah sedapat-dapatnya harus ada pemberian pengajaran
rendah dari pemerintah yang mencukupi kebutuhan penduduk bangsa Eropa.
Teranglah di situ maksudnya: jangan sampai ada anak-anak bangsa Eropa tidak
mendapatkan pengajaran.
Bagaimanakah sikap pemerintah HB terhadap anakanak Indonesia? Pasal 128 dalam soal itu menyebutkan: De goeverneur-general
zorgt voor de oprichting van scholen tendeinste van de Indlandse bevoking, dan ini
berarti untuk rakyat gubernur-jenderal diserahi untuk mendirikan sekolah-sekolah.
Lain tidak; lebih daripada mendirikan pun tidak. Tak ada disebut-sebut di situ
tentang keharusan, tentang kebutuhan, tentang perlunya ada udaha yang
mencakup dan lain-lain sebagainya.
Pada waktu itu ada beberapa bupati mendirikan “sekolah-sekolah kabupaten”,
tetapi hanya untuk mendidik calon-calon pegawai. Kemudian lahir, Reglement voor
het Inlands onderwijs; lalu didirikan sekolah guru di Sala, yang kemudian pindah ke
Magelang, lalu ke Bandung (1866). Dengan berangsur-angsur dapat didirikan
“sekolah-sekolah bumiputera”, yang hanya mempunyai 3 kelas, sedang gurunya
seorang dari Kweekschool, dan lain-lainnya (pembantu) berasal dari “sekolah
bumiputera” itu juga, sesudah mendapatkan didikan tambahan.
Maksud dan tujuan dari segala usaha itu tetap untuk mendidik calon-calon
pegawai negeri dan pembantu-pembantu perusahaan-perusahaan kepunyaan
Belanda. Maksud dan tujuan tersebut tidak berubah, ketika pemerintah memberi
kelonggaran kepada anak-anak Indonesia, untuk memasuki Europeesche Lagere
School, karena yang dibolehkan ialah hanya calon-calon murid “dokter Jawa”,
murid Hoofdenschool. Suatu bukti bahwa pemerintah Belanda semata-mata
mementingkan pendidikan calon-calon pegawai negeri, ialah adanya ujian, yang
sangat digemari oleh anak-anak bumiputera, yang disebut
Kleinambtenaarsexamen.
ZAMAN ETHIK DAN KEBANGUNAN NASIONAL
Haluan daripada sistem pendidikan, yang diadakan oleh pihak Belanda seperti
tergambar di atas itu, tetapi harus mempengaruhi segala usaha pendidikan. Juga
yang dilakukan sesudah aliran Etihische politiek atau Etishche koers timbul, pada
permulaan abad ke-20 (dan sebenarnya sebagai akibat “Kebangunan Nasional”
pada permulaan abad ke-20). Haluan tadi boleh digambarkan sebagai haluan
“kolonial lunak”, yang dalam sistem pendidikannya tetap menunjukan sifat
“intelektualistis”, pula “individualistis” dan “materialistis”. Sekali-kali tidak
mengandung cita-cita kebudayaan. Pada hal pendidikan dan pengajaran itu
sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan.
Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa kita sendiri (sesudah menginjak ke
dalam zaman “Kebangunan Nasional”) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu
intelektualisme, individualisme, materialisme dan kolonialisme tadi. Sungguhpun
cita-cita Raden Ajeng Kartini (1900) sudah mulai mengandung jiwa nasional dan
cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo (1908) sudah membayangkan aliran kultural
namun organisasi teknik pendidikan dan pengajaran tetap tak berubah. Masuknya
anasir kebudayaan ke dalam sekolah-sekolah yang bermaksud mewujudkan
perguruan kebangsaan, pula masuknya anasir-anasir agama ke dalam sekolahsekolah Islam, tidak dapat menghapuskan corak warna jiwa kolonial dengan
sekaligus.
ZAMAN BANGKITNYA JIWA MERDEKA
Baru pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan
radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakanakan merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Idamidaman kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan
kebebasan kebudayaan bangsa, itulah pokok sistem pendidikan dan pengajaran,
yang pada tahun 1922 dapat tercipta oleh “Tamansiswa” di Yogyakarta. Bahwa
aliran Tamansiswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyata di seluruh
tanah air kita, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Tamansiswa
di seluruh kepulauan Indonesia: di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, SUnda Kecil
dan Maluku. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” (Islam, Kristen,
Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir yang tidak mendapatkan
subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar keagamaannya
masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat revolusioner. Dengan
begitu, maka gerakan pendidikan berlaku sejalan dengan gerakan politik, dan
inilah yang menyebabkan amat banyak orang-orang bekas murid nasional tadi
(tidak hanya yang terdidik dalam perguruan Tamansiswa saja) kini secara
bermanfaat dan efisien dapat ikut serta dalam segala usaha kenegaraan baik
dalam gerakan revolusi maupan dalam usaha pembangunan bangsa dan negara.
TENTANG PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan
budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek), dan jasmani anak-anak. Maksudnya
ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Karena
itulah pasal-pasal di bawah ini harus kita pentingkan:
1. Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya
keadaan.
2. Kodratnya keadaan tadi ada tersimpan dalam adat istiadat masing-masing
rakyat, yang karenanya tergolong-golong menjadi “bangsa-bangsa”
dengan sifatnya perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari
campurnya semua daya upaya untuk mendapatkan hidup tertib damai.
3. Adat istiadat, sebagai sifat daya upaya akan tertibnya damai itu, tiada luput
dari pengaruh “zaman” dan “alam” karena itu tidak tetap, akan tetapi
senantiasa berubah, bentuk, isi dan iramanya.
4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, perlulah kita
mengetahui zaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya zaman itu, ke
dalam zaman sekarang, mengetahui zaman yang berlaku ini, lalu dapat
insyallah kita akan zaman yang akan datang.
5. Pengaruh baru adalah terjadinya dari bergaulnya bangsa yang satu dengan
yang lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari
adanya perhubungan modern. Haruslah kita awas, akan dapat memilih
mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita, mana yang
merugikan pada kita, dengan selalu mengingati bahwa semua kemajuan
ilmu pengetahun dan segala perikehidupan itu adalah kemurahan Tuhan
untuk segenap umat manusia di seluruh dunia, meskipun hidupnya masingmasing menurut garis sendiri yang tetap. Jika kita tidak boleh menolaknya.
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis
bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan
(maatschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya,
sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa
untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat sesuai dengan ruh
kebangsaan, menuju ke arah keluhuran dan kesucian hidup bati, serta ketertiban
dan kedamaian hidup lahir; baik syarat-syarat baru yang berfaedah untuk maksud
dan tujuan kita.
Teristimewa haruslah kita mementingkan pangkal kehidupan kita yang terus
hidup dalam kesenian, peradaban dan keagamaan kita; atau terdapat dalam
kitab-kitab cerita (dongeng-dongeng, mite, legenda, babad dan lain-lain). Semua
itu adalah “arsip nasional”, dalam mana ada tersimpan berbagai “kekayaan batin”
dari bangsa kita.
Dengan mengetahui segalanya itu, niscayalah langkah kita
menuju ke arah zaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena zaman baru kita
“dijodohkan” sebagai “mempelai” dengan zaman yang lalu.
Berhubung dengan apa yang tersebut di atas, perlulah anak-anak kita
dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya dapat
“pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, namun juga dapat “mengalami”
sendiri dan kemudian tidak hidup berpisah dengan rakyatnya.
Karena itu seyogyanyalah kita mengutamakan cara “pondok sistem”,
berdasarkan hidup kekeluargaan, untuk mempersatukan pengajaran pengetahuan
dengan pengajaran budi pekerti, sistem mana dalam sejarah kebudayaaan
bangsa kita bukan barang asing. Dahulu bernama “asrama”, kemudian di zaman
Islam menjelma jadi “pondok pesantren”.
Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan, yang terutama
dipergunakan untuk mendidik pikiran; dan ini perlu sekali, tidak saja untuk
memajukan kecerdasan batin, namun pula untuk melancarkan hidup pada
umumnya.
Seyogyanyalah pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya,
sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya, agar anak-anak kelak dapat
membangun perikehidupannya lahir dan batin dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan jasmani yang pada zaman dahulu kala juga tidak asing, harus
dipertimbangkan untuk kesehatan diri sendiri dan untuk mendapatkan turunan
yang kuat.
TENTANG KEBUDAYAAN
Kebudayaan, yang berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan
manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan
masyarakat), dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai-bagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan
penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai.
1. Sebagai buah perjuangan manusia yang barada di dalam satu alam dan
satu zaman, maka kebudayaan itu selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan
mewujudkan sifat atau watak, yakni kepribadian bangsa. Dan inilah sifat
kemerdekaan kebangsaan dalam arti kultural.
2. Tiap-tiap kebudayaan menunjukan indah dan tingginya adab kemanusiaan
pada hidupnya masing-masing bangsa yang memilikinya; dalam hal ini
keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu dipakainya sebagai ukuran.
3. Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap
segala kekuatan alam dan zaman, selalu memudahkan dan melancarkan
hidup serta memberi alat-alat baru untuk meneruskan kemajuan hidup;
sedang memudahkan serta memajukan berarti pula memfaedahkan dan
mempertinggi hidup.
Hidup tumbuhnya kebudayaan, sebagi buah budi manusia, kebudaayan tidak
terluput dari segala kejadian dan tabiat yang ada pada hidup manusia:
1. Lahir, bertumbuh, maju, berkembang, berbuah, sakit, menjadi tua, mundur
dan mati.
2. Kawin dan berketurunan:
a. Secara “asosiasi”, yakni berkumpul tetapi tidak bersatu, kerapkali
menurunkan bastaard, yakni bersifat campuran dan kadang-kadang
menunjukan kemunduran atau dekadensi.
b. Secara “asimilasi”, yakni bersatu padu atau manunggil dan biasanya
menurunkan “angkatan baru yang murni”
3. Mengalami seleksi: apa ang kuat terus hidup, yang lemah mati. Setelah
hukum evolusi lain-lainnya tak dapat dihindari di dalam hidup kebudayaan.
Maka kebudayaan (cultural, cultivare, colere) ialah memelihara serta
memajukan hidup manusia ke arah keadaban.
Dalam pada itu termasuk pula
pengertian “memuja-muja” (cultus, vereering) dan inilah yang kerapkali
menyebabkan hidup bekunya (verstaaring) kebudayaan. Karena itu haruslah selalu
diingat:
1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan
menyesuaikan kebudayaan dengan tiap-tiap pergantian alam dan zaman.
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan
matinya, maka harus selalu ada hubungan antara kebudayaan dengan
kodrat dan masyarakat.
3. Pembaruan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan
kebudayaan lain yang dapat mengembangkan (memajukan,
menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan
sendiri.
4. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan
sendiri (kontinuitet) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia
(konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam
lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitet).
Kebudayaan Indonesia yang sekarang masih berupa berkumpulnya segala
kebudayaan untuk seluruh rakyat.
1. Berhubung dengan tetap adanya kesatuan alam dan zaman, kesatuan
sejarah (dulu dan sekarang), kesatuan masyarakat dan lain-lainnya, maka
kesatuan kebudayaan Indonesia hanya soal waktu.
2. Sebagai bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia
perlulah segala sari-sari serta puncak-puncak kebudayaan yang teradapat
di seluruh daerah Indonesia dipergunakan untuk menjadi modal isinya.
3. Dari luar lingkungan kebangsaan perlu pula diambil bahan-bahan yang
dapat memperkembangkan dan/atau memperkaya kebudayaan kita
sendiri.
4. Dalam memasukan bahan-bahan, baik dari kebudayaan daerah-daerah
maupan dari kebudayaan asing, perlu senantiasa diingat syarat-syarat
kontinuited, konvergensi dan konsentrisitet tersebut di muka.
5. Jangan dilupakan, bahwa kemerdekaan bangsa tidak cukup hanya berupa
kemerdekaan politik, tetapi harus berarti pula kesanggupan dan
kemampuan mewujudkan kemerdekaan kebudayaan bangsa, yakni
kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya,
di atas dasar adab kemanusiaan yang luas, luhur dan dalam.
Sekianlah Saudara Ketua, kata sambutan kami atas uraian Presiden Universitas
Sdr. Prof. Dr. Sardjito. Pidato kami tadi semata-mata berujud dank-rede, tetapi kami
maksudkan sebagai penjelasan dan sementara tambahan yang perlu-perlu,
supaya para anggota Senat, Dewan Kurator, para Guru Besar dan Dwijawara
lainnya, pula para Sarjana dan Siswa-siswa Universitas dapat mengetahuinynya.
Jika ada perkataan-perkataan yang janggal, kami minta maaf sebanyakbanyaknya.
Saya tutup kata penyambutan kami ini dengan sekali lagi mengucapkan
banyak-banyak terima kasih atas kemurahan hati Senat Universitas Gadjah Mada
yang telah memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada kami. Kepada Saudara
Prof. Dr. Sardjito pula saya menyatakan rasa penghargaan yang sedalamdalamnya untuk pidatonya yang telah beliau ucapakan secara tulus ikhlas tadi.
Semoga Tuhan membalas segala budi baik itu.
Dasar Dasar Pendidikan
1. Arti dan Masksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersamasama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan
pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa
sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan
salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain
adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat
hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan
(opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai
keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan
mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap
aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan
mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya
yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai
keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syaratsyarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang
berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki
dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan
dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai
‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu:
menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu
‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa
hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita
kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda
2 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup
batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita
kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatankekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup
dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh
perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani
(dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang
menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia
dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi
pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu
hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan
tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang
ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat
memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara
tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat
memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga
menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak
dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah
pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi
faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan
dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak
tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan
agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik
dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah
menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih
memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan
mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan
adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh
jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena
pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-
3 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
orang jahat.
Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang
muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup
dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis
kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam
keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat
kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah
terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.
Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu
terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi,
hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya
menjadi satu.
Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama
artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuhkembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik
dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan
sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu
akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada
pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan
air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat
tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung
tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang
sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih
baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang
asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di
luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika
lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat
tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama,
yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang
belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong
itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya
untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini
dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si
pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir
4 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir
sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga
pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak.
Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruhpengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif
menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruhpengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di
dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie.
Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan
sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu
suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan
berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik,
agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang
mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai
menjadi tebal, bahkan makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi
dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian
yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran
(intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau
keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang
berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang
dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh
misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan,
kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan
pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya
kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah
bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam
jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa
egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa
itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga
menjadi orang dewasa.
Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang
baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan
5 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa
takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan
pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir
sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal
inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut.
Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak
tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini
terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak
seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya
sendiri.
Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis,
murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala
keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika
pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba
datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan
sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat
banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap
manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan
pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika
ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu
keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai
dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang
baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut
itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan
berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiattabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama
sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan)
hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan
tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching)
secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan
tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi
yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi
pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian
(persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan),
6 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya
yang asli dan biologis tadi.
Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan
pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’
(adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran
adat atau etika.
Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’
diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut
sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang
mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan
merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti
dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap
manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang
satu dengan yang lainnya.
Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya
gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga
menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiranperasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi
pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga
menjelma sebagai tenaga.
Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia,
dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan,
maupan dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat
jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah
Bersatu dengan jiwa.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat
mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga
harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama.
Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang
yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia
menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat
mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara
umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan
pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis).
7 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga
mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu
pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof.
Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan
penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti
orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis
berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi
pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof.
Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat
orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3.
Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau
econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6.
Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).
Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang
jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani
seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat
dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budipekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri
sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari
alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian
introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke
dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan
demikianlah seterusnya.
Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa
tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan
(eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari
tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendektingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang
sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut
berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.
8. Naluri Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada
uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk
permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang
teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di
tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan
8 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis
instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik
anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan
pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar
terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de
sort).
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya,
pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan
seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik.
Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat
keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau
‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar
pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang
luar (eenzijdig).
9. Syarat-Syarat Pengetahuan
Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada
pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri,
akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu
syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis,
yaitu:
1. Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);
2. Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);
3. Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);
4. Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);
5. Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)
Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita
dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’
dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib
mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat atau
keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2
diatas). Pengukir wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang tidak
keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar,
begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara
manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada
dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani
(fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2.
9 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiranukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi
seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan
batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir
(lihat no.3 dan no.4)
Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran
yang bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran
dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu,
di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi
kaum Pendidik.
Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu
memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat
membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.
10. Peralatan Pendidikan
Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni caracara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam
banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti
berikut:
1. Memberi contoh (voorbeld);
2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum
pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik
dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat
nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan
salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.
11. Hubungan dengan Umur
Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa,
masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun)
dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun),
yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa
10 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale
periode).
Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan
dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara
sesuai dengan umur tersebut:
a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;
b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6
1
Lampiran 2. Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1
Oktober 1928
Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak
Permainan Anak Adalah Pendidikan
Barangkali pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman
Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas,
Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School
(Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS.
Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode
pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya,
pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik).
Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih
tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan
pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan
sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya.
Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki.
Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada
pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau
belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan
menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang
mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka
dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam
batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca
indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan,
nafsu dan lain-lain)
Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama
mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr.
2 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara
Frobel. Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di
kota Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan
yang cukup besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari
jalan lahir untuk mendidik batin.
Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta.
Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan
pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga
dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur.
Kita tidak dapat
membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang
pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut:
a. Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun
dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca
indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan
dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan.
b. Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi
pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anakanak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga
diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak.
Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.
c. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan
tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu
dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan
bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak
tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala
alat-alat yang bersifat mendidik si anak.
Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa
seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi
paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga Ki Hadjar Dewantara
permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik
anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu,
permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran,
jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan
mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan
keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga
permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang
atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat
menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur.
Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas,
sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis
metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan
Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode
Among Siswa.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan
barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri.
Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri
seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi
derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat
penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun,
waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang
dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan
hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu.
Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang
dinamakan “menasionalisasikan”.
Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan
juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan
dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum
pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras
dengan kehidupan bangsa kita.