Bendera Bangsaku

SELAMAT DATANG SOBATKU DI BLOG MAMAT/UCOK/RONI PUTERA JAWA KETURUNAN SUMATERA, ALLAH KUASA MAKHLUQ TAK KUASA LAILAHAILLALLAH MUHAMMADURRASULULLAH

RANGKUMAN PEMIKIRAN FILOSOFIS PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

Sistem among, kodrat alam dan kodrat zaman, Tri Kon, Tri Pusat Pendidikan, berhamba pada anak, budi pekerti, bermain adalah kodrat anak, dan Trilogi.


Pemikiran Filosofis Pendidikan Ki Hajar Dewantara - Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau lebih kita kenal sebagai Ki Hajar Dewantara, adalah seorang tokoh pendidikan yang paling berpengaruh dalam sistem pendidikan kita. Pada masa kolonial, beliau dikenal pelopor pendidikan bagi anak-anak pribumi.

Ki Hajar Dewantara juga merupakan penggagas Perguruan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang cukup populer hingga saat ini. Selain sebagai pendidik, beliau juga merupakan seorang filosof yang memiliki pemikiran yang sangat penting bagi dunia pendidikan.  

Apa saja pemikiran filosofis beliau tentang pendidikan?

Latar Belakang Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di  Yogyakarta. Beliau adalah putra dari seorang bangsawan Jawa yang bernama Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan Ibunya bernama Raden Ayu (R.A.) Sandiah.

Ki Hajar Dewantara tumbuh dalam lingkungan yang multikultural, karena kedua orang tuanya berasal dari budaya yang berbeda. Sejak kecil, Ki Hajar Dewantara sudah menunjukkan minatnya yang besar terhadap pendidikan.

Pada awalnya, Ki Hajar Dewantara mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di  Yogyakarta. Kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya di Belanda.

Pemikiran Filosofis Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Selama menjalani studinya, Ki Hajar Dewantara (KHD) banyak belajar dari pemikiran-pemikiran para filosof terkenal. Beliau kemudian mengembangkan pemikiran tersebut dan menyesuaikannya dengan kultur budaya Indonesia.

Beberapa pemikirannya yang terkenal antara lain : sistem among, kodrat alam dan kodrat zaman, Tri Kon (kontinu, konvergen, konsentris), Tri Pusat Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), berhamba pada anak, budi pekerti, bermain adalah kodrat anak, dan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.

Sistem Among

... bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa.

- dalam Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1 Oktober 1928

Metode Montessori adalah metode pembelajaran yang membebaskan anak untuk memilih aktivitas sesuai minat dan bakatnya. 

Metode Froebel berpendapat bahwa tahun-tahun awal kehidupan seorang anak adalah yang paling penting dalam pendidikan anak dan meletakkan dasar bagi semua pembelajaran nanti. anak-anak, ia berpendapat, belajar terbaik melalui aktivitas diri, berbicara dan bermain.    Froebel sebagai bapak Taman Kanak-kanak. 

Sistem Among adalah suatu sistem pembelajaran yang mengedepankan pembentukan manusia secara utuh. Suatu metode yang tidak menghendaki ‘perintah-paksaan’, melainkan memberi ‘tuntunan’ bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan subur dan selamat, baik lahir maupun batinnya.

Sistem among bertujuan untuk membangun hubungan emosional yang kuat antara guru, siswa, dan orang tua untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang optimal.

Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

... Dalam pada itu harus kita sadari, bahwa “sifat” dan “bentuk” adalah unsur-unsur yang timbul karena pengaruh kodrat alam, sedangkan “isi” dan “irama” sangat lekat hubungannya dengan zamannya dan pribadinya seseorang.

- Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara, Universitas Gajah Mada, 7 November 1956

Kodrat alam adalah sifat alami manusia yang harus dikembangkan, seperti sifat kejujuran, ketulusan, tanggung jawab dan lain-lainnya. Sedangkan kodrat zaman adalah keadaan dan tantangan yang dihadapi oleh manusia pada zaman tertentu.

Untuk berhasil dalam kehidupan, Ki Hajar Dewantara percaya bahwa anak-anak harus dididik dengan mempertimbangkan kedua faktor ini. Anak-anak harus diajarkan sifat-sifat yang sesuai dengan kodrat alam mereka dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Asas Tri Kon

Tri Kon terdiri dari tiga aspek: kontinu, konvergen, dan konsentris. Kontinu berarti pendidikan yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan, dilakukan terus menerus dengan membuat perencanaan yang baik.

Konvergen berarti pendidikan yang dilakukan bisa mengambil dari berbagai sumber di luar negeri, namun harus disesuaikan dengan kebutuhan yang kita miliki sendiri. Konsentris berarti pendidikan yang dilakukan tidak lepas dari kepribadian bangsa kita sendiri.

Tri Pusat Pendidikan

Dalam kehidupan anak, ada tiga tempat penting yang menjadi pusat pendidikan bagi mereka, yaitu alam keluarga, alam perguruan (sekolah) dan alam pergerakan pemuda (masyarakat).

Keluarga adalah pusat pendidikan pertama yang penting dalam membentuk karakter anak. Sekolah bertanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan.

Sedangkan masyarakat sebagai pusat pendidikan yang terakhir bertugas membantu membentuk karakter anak dan mempersiapkannya untuk kehidupan sosial.

Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kerja sama antara ketiga pusat pendidikan tersebut untuk menciptakan pendidikan yang holistik dan efektif.

Berhamba pada anak

Kita dengan ikhlas hati dan dan bebas dari ikatan apapun, mendekati Sang Anak dan mengorbankan diri kepadanya. Jangan si murid untuk si guru tetapi si guru untuk si murid.

- dalam Ki Hajar Dewantara : Pemikiran dan Perjuangannya, hal. 174.

Istilah "berhamba" mungkin terdengar aneh ketika digunakan konteks pendidikan. Namun, pada intinya, KHD berbicara tentang pentingnya fokus pada kebutuhan dan kepentingan anak dalam proses pendidikan.

Seorang anak atau murid harus menjadi pusat perhatian dalam pendidikan. Pendidikan harus diarahkan pada pelayanan kepada anak, yang artinya bahwa proses pendidikan harus didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan anak.

Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa setiap anak adalah individu yang unik dan berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan bakatnya masing-masing. Sehingga guru harus memperlakukan muridnya dengan kasih sayang dan memahami kebutuhan mereka secara individual

Budi Pekerti

Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiran-perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.

- Ki Hadjar Dewantara, Dasar-dasar Pendidikan, 1936.

Budi pekerti mencakup nilai-nilai kebajikan seperti sopan santun, kejujuran, kerja sama, dan tanggung jawab. Ki Hajar Dewantara percaya bahwa dengan mempelajari nilai-nilai ini, anak-anak akan menjadi individu yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Maka dari itu, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai tersebut pada anak sejak dini. Guru harus menjadi contoh yang baik dalam berperilaku dan mengajarkan anak-anak untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan memiliki moral yang baik.

Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani

Slogan ini bermakna "di depan memberikan contoh, di tengah memberi dorongan, di belakang memberikan dukungan".

Ini berarti seorang pendidik harus menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya, memberikan dorongan dan motivasi agar anak didiknya agar berkembang dengan baik, dan memberikan dukungan yang dibutuhkan agar anak didiknya dapat mencapai kesuksesan.


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pendidikan yang memiliki pemikiran filosofis yang sangat penting untuk diterapkan dalam dunia pendidikan.

Kita sebagai pendidik saat ini dapat mengambil banyak pelajaran dan inspirasi dari pemikiran-pemikiran beliau dalam menjalankan tugas mendidik dan mengajar murid di kelas, sehingga dapat membantu menciptakan generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan dapat menghadapi tantangan masa depan dengan baik.

Bahan bacaan:
  1. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937.
  2. Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1 Oktober 1928.
  3. Suhartono Wiryopranoto dkk., Ki Hajar Dewantara : ”Pemikiran dan Perjuangannya”, 2017.

Modul 1.1-Pidato Sambutan KHD UGM 1956/Dasar-Dasar Pendidikan_Modul 1.1/Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak_Modul 1.1 Filosofi Pendidikan KHD

Lampiran 3. Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara

Dewan Senat Universitas Gajah Mada, 7 November 1956 

Saudara Ketua Sidang Senat Terbuka! 

Perkenankan saya membuka kata sambutan kami ini dengan ucapan terima kasih yang seikhlas-ikhlasnya kepada Dewan Senat Universitas, yang dalam sidangnya tanggal 7 November 1956 telah memutuskan akan pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada kami. Ucapan terima kasih itu saya tujukan pula kepada Saudara Prof. Dr. Sardjito yang selaku Presiden Universitas telah berhasil mengumpulkan berbagai unsur, yang dianggap cukup penting, untuk dipakai sebagai dasar atau alasan guna mempertanggungjawabkan Senat tersebtu. Saudar Ketua! Dari pidato Prof. Sardjito, yang penting ringkas dan tegas itu, dapatlah saya menangkap dua buah kesan utama. Pertama, beliau tidak saja meninjau objek penyeledikannya secara eksklusif, namun memasukkan pula “penyandra” mengenai pribadi kami ke dalam uriannya. Kedua, dengan tegas beliau menghubung-hubungkan, bahwa menyatukan tiga lapangan pekerjaan kami, yaitu: 

1. Perjuangan kemerdekaan nasional, 

2. Perjuangan pendidikan dan 

3. Pejuang kebudayaan, menjadi satu “tri-tunggal”. 

Mengenai kesan yang pertama, yaitu bahwa disamping pengutaraan dasardasar yang pokok serta garis-garis besarnya, Prof. Sardjito masih menganggap perlu menyandra sifat pribadi kami, itu menunjukan ketelitian beliau dalam menyelidiki soal yang sedang beliau hadapi. Memang kebaikan sifat-sifat dasar sertai kebaikan garis-garis besar atau bentuknya ataupun organisasinya, belum menjadi pasti adanya isi serta irama atau cara melaksanakan yang baik. Dalam pada itu harus kita sadari, bahwa “sifat” dan “bentuk” adalah unsur-unsur yang timbul karena pengaruh kodrat alam, sedangkan “isi” dan “irama” sangat lekat hubungannya dengan zamannya dan pribadinya seseorang yang bersangkutan empat ukuran ini, S.B.I.I (Sifat, Bentuk, Isi dan Irama) sungguj perlu dipakai untuk mendapatkan nilai yang lengkap dan benar. Saudara Ketua! 

Cara penilaian dengan memaknai 4 ukuran tersebut, sungguh perlu digunakan, lebih-lebih di zaman sekarang, berhubungan dengan kerapkalinya kita harus menghargai dan menilai anasir-anasir kebudayaan yang datang dari dunia luar, terutama dunia Barat di sini sampailah kita pada saat baik untuk mulai menyinggung-nyinggung soal kebudayaan, yang termasuk dalam kesan yang kedua. Kini kita berada di zaman “akulturasi” atau pertukaran kebudayaan dengan dunia Barat. “Sifat” pokok dari tiap-tiap kebudayaan adalah universal, yang boleh dianggap sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa murah kepada makhluk manusia untuk mempertinggi hidup dan penghidupannya. Adapun “bentuk” dari kebudayaan tadi terjadi karena pengaruh kodrat alam, yang di dunia ini berlainlainan macam dan rupanya. Adapun “isi” zaman itu tidak lain daripada waktu yang ditempati masyarakat, yang biasanya menunjukan sifat-sifat dan corak warna hidup kejiwaan yang agak khusus dan yang terus menerus berganti-ganti isinya. Akhirnya tentang “irama” yang harus dipahami bahwa cara menggunakan segala unsur kebudayaan itu menjadi tanggungjawab tiap-tiap orang atau masyarkat yang berpribadi. 

Adapun semboyan yang mengandung filsafat dalam soal akulturasi yang telah kita masukan dalam rangkain asas-asas ke-Tamansiswaan-an. Yaitu “Asas Tir-con” yang mengajarkan, bahwa di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus kontinuitet dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya jika kita sudah bersatu dalam alam universal, kita bersama mewujudkan persatauan dunia dan manusia yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat “Bhineka Tunggal Ika” 

Dalam keterangan tentang sifat dan dasar di atas, istilah “bentuk” ini saya gambarkan sebagai “organisasi”. Dalam hal ini haruslah kita ingati, bahwa tiap-tiap organisasi, agar bermanfaat, harus bersifat “organis” yang berarti hidup, jangan sampai suatu bentuk organisasi menghalangi-halangi terlaksananya kenyataankenyataan yang menjadi tujuan organisasi itu. Memang benar organisasi perlu untuk tata tertibnya keadaan lahir, akan tetapi jangan organisasi itu bertentangan dengan hakekatnya suatu kenyataan. Ingatlah saya akan suatu pelajaran yang dipentingkan dalam filsafat Islam, yang berbunyi “Syari’at tidak dengan hakikat adalah kosong” sebaliknya “Hakikat tidak dengan syari’at adalah batal”. 

Dengan sendiri teringatlah saya akan petuah suci, berasal dari Sultan Agung Mataram, yang terkenal sebagai Aulia, sebagai Pujangga dan Pemimpin Negara di abad yang ke-17. Menurut Sultan Agung, kalau syari’at sembahyang tidak dituntun oleh kesucian jiwa (yang disebut gending olehnya), maka batallah sholatnya orang terhadap Yang Maha Kuasa. Tak ada perlunya orang memelihara hidup kebatinan, jika tidak berisikan pengluhuran Zat Allah Yang Maha Kuasa. Bagi mereka yang ingin mengetahui wejangan Sang Sultan Agung mengenai hal tersebut, baiklah di sini saya sajikan naskah yang orisinil, terkutip dari Serat Sastra Gending ciptaanya. Pramila gending yen bubrah, Gugur sembahe mringi Widdhi, Batal wisesaning salat, Tanpa gawe ulah gending, Denge ngran temabgn gending: Tuk ireng swara linuhung, Amuji asamaning Zat, Swara saking osik wadhi, Osik mulya wentaring cipta surasa Saudara Ketua! Dalam pidatonya maka Prof. Sardjito menyatakan, bahwa hidup dan pekerjaan kami menunjukan banyak facet-facetnya, yang tidak memudahkan bagi Senat untuk memilih keilmuan gelar apa yang akan disajikan. Ada yang menitikberatkan pengharaannya kepada keahlian kami dalam soal “Pendidikan”, karena menurut Prof. Sardjito yang sekarang dilihat oleh masyarakat sebagai pekerjaan yang sungguh besar, ekstensif dan intensif, ialah dilangsungkan pengguruan Tamansiswa. Sebaliknya ada yang beranggapan, bahwa hal itu hanya mengenai satu facet saja dan dengan sendirinya dianggap belum cukup. 

Akhirnya oleh Dewan Senat ditetapkan, bahwa pengharaan serta penilaian terhadap apa yang oleh Prof. Sardjito disebut “jasa-jasa” kami, ialah dengan memandang pribadi kami sebagai perintis kemerdekaan nasional, perintis Pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional. Saya sendiri dapat memahami sepenuhnya apa yang dinyatakan oleh Dewan Senat itu. Bahkan kami dapat membenarkan pula penilaian tersebut. Bahkan kami dapat membenarkan pula penilaian tersebut. Seperti berulang-ulang telah saya nyatakan sendiri, Pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Dengan maksud agar segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaikbaiknya. Dan dapat kita teruskan kepada anak cucu kita yang akan datang. Dalam pada itu, sudah pada waktu berdirinya Tamansiswa saya beranggapan (dan ini tidak disinggung-singgung oleh Prof. Sardjito), bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat, tidak mungkin tercapai hanya dengan jalan politik. Terhadap pergerakan politik, orang tahu akan gambaran khayal kami, yang kerap kali juga sudah kami jelaskan, bahwa untuk dapat bekerja di sawah dan ladang dengan tentram dan seksama (yakni tugas cara pendidik dan para pejuang kebudayaan) sangat kita perlukan adanya pagar yang kokoh dan kuat, untuk menolak segala bahaya yang mengancam dari segala kekuasaan dan kekuatan yang mungkin dapat merusak sawah dan ladang serta tanaman-tanamannya, yang kita pelihara. “Pagar” tadi tidak bukan dan tak lain adalah pergerakan politik rakyat kita. Itulah sebabnya selalau adanya hubungan yang baik dan erat antara pergerakan pendidikan dan kebudayaan Tamansiswa dengan pergerakan politik. Ada satu hal di dalam pidato Prof. Sardjito yang perlu kami beri sedikit penjelasan. Saudara Sardjito menganggap “aneh” bahwa dari pemimpinpemimpin kita sekarang ini sebagian terbesar adalah buah dari pendidikan dan pengajaran di zaman Belanda itu, namun begitu toh tidak dapat dikatakan, bahwa mereka itu terasing dari dan kehilangan dasar-dasar nasionalnya. Saudara Ketua! Dalam hal ini harus kita insyafi, bahwa para penguasa bangsa Belanda di Indonesia sebenarnya sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan kebudayaan. 

Mereka semata-mata mementingkan pengajaran, yang intelektualitas serta materialistis, karena pendidikan di situ semata-mata berupa pendidikan intelek. Dalam keadaan yang sedemikian, anak-anak dan pemudapemuda kita, yang di rumah keluarganya, masih dapat mengecap suasana kultural tetap mendapatkan pengaruh dari segala apa yang terus hidup di dalam berbagai tradisi kebudayaan, sekalipun dalam lapangan ini belum ada pendidikan yang modern. Keuntungan dari keadaan tersebut ialah, bahwa banyak pemimpinpemimpin di zaman sekarang itu tidak terasing atau kehilangan dasar-dasar nasionalisnya. Ini bukan barang “aneh”, sebaliknya hal yang “logis” yang dapat dimengerti, hal biasa, hal yang semestinya. Saya sendiri adalah produk dari pendidikan dan pengajaran Barat, karena di waktu kecil saya belum ada perguruan nasional. Semoga soal ini kita perhatikan secukupnya, yaitu bahwa disamping pendidikan kecerdasan pikiran harus ada pendidikan yang kultural. Jangan sampai kita hanya meniru sistem pendidikan dan pengajaran yang sepi pengaruh kebudayaan, seperti yang kita alami di zaman Belanda, dengan pendidikannya yang intelektualis, materialisi dan . . . . . kolonila itu. Baiklah di sini kita sadari, bawah pendidikan dan pengajaran secara Barat tidak boleh mutlak kita anggap jelek. Banyak ilmu pengetahuan yang harus kita kejar, sekalipun dengan melalui sekolah-sekolah Barat. Kita mengerti, bahwa juga di Indonesia kini masih banyak pendidikan dan pengajaran yang dilakukan secara sistem Barat. Ini tidak mengapa, asalkan kepada anak-anak kita diberi pendidikan kultural dan nasional, yang semua-semuanya kita tujukan ke arah keluruhan manusia, nusa dan bangsa, tidak dengan memisahkan diri dari kesatuan kemanusiaan. 

Untuk dapat mencapai tujuan ini cukuplah di sini saya nasehatkan: didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga. Tentang pengertian “keluarga” yang baru saja saya singgung sebagai lingkungan yang melindungi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak dalam hidup kebudayaannya, perlulah di sini diketahui, bahwa di dalam sistem Tamansiswa hidup keluarga itu mendapt tempat yang luhur dan istimewa. Sebagai masyarakat yang paling kecil namun yang paling suci dan murni dalam dasar-dasar sosialnya, lingkungan keluarga itu merupakan suatu pusat pendidikan yang termulia. Cinta kasih, semangat tolong-menolong, rasa kewajiban berkorban dan ikut bertanggungjawab dan lain-lain, pendek kata segala unsur-unsur dari budi sosial dan kesusilaan dalam sifat-sifat pokoknya terdapat di dalam hidup keluarga. Selain itu, seperti sudah disinggung di atas, lingkungan keluarga inilah yang meneruskan segala tradisi, baik yang mengenai hidup kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan lain-lain unsur daripada budi kesusilaan. Berpisahnya anak-anak dengan keluarganya berarti kehilangan tuntunan ataupun pedoman, untuk laku hidupnya dan membahayakan keselamatan dan kebahagiaannya sebagai manusia yang susila dan bertanggungjawab. 

Tak usah saya jelaskan di sini, bahwa menurut statistik secara modern dapat dibuktikan, bahwa kejahatan-kejahatan kriminal sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai hidup kekeluargaan dan atau berasal dari keluarga yang rusak kesusilaannya. Semoga hal yang amat penting ini jangan dilupakan oleh pemimpin-pemimpin perguruan kita di Indonesia. Nasehat-nasehat serupa yang saya ucapkan itu adalah perlu, karena sudah sejak lama rakyat kita boleh dikata keputusan tradisi. Kita tidak tahu lagi bagaimana sifat dan bentuk serta isi dan irama pendidikan dan pengajaran di zaman dahulu kala. Rakyat kita sekarang berhasrat besar untuk mengadakan pembangunan, juga di lapangan kebudayaan dan pendidikan. Saya peringatkan di sini, bahwa hingga sekarang kita kenal kebudayaan di zaman dulu. Pujanga-pujangga kita dan Ki Dalang di bawah blencong hingga kini masih menceritakan adanya cantrik, cekel, manguyu, jejanggan, malah sebutan-sebutan untuk student-student putri, seperti mentrik, sontrang, dahyang, bidang dan lain-lain. Pula nama-nama untuk guru-guru besarnya, seperti dwijawara, hajar, pandita, wiku, begawan dan sebagainya. 

 Adanya isitilah-istilah itu membuktikan, bahwa di zaman dahulu sudah pernah ada perguruan-perguruan luhur, dengan peraturan-peraturan tata tertib yang berdiferensiasi, dimana terbukti para wanita diperbolehkan mengikuti pelajaran di pawiyatan-pawiyatan luhur. (Barang tentu kita semua tahu, bahwa di Nederland misalnya, di zaman serratus tahun yang lalu, kaum perempuan dilarang menjadi student. Dr. Aletta H. Jacobs almarhum, yang pernah hidup di zaman kita ini, adalah student perempuan yang untuk pertama kali diperbolehkan mengikuti perguruan tinggi, sampai menempuh ujian terakhir dan memperoleh derataj “medika”). Yang saya utarakan ini adalah termasuk pengetahuan “spekulatif” tetapi cukup penting kira saya untuk diselidiki secara ilmiah “positif” oleh para ahli sejarah dan kebudayaan kita. Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman lampau, maka sistem pendidikan dan pengajaran di negeri kita, yang sekarang sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, di zaman yang kita tempati sekarang ini, pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama, yang lain daripada yang kita lihat sekarang; mulai di taman kanak-kanak sampai di universitasuniversitas. Saya mengerti, bahwa bentuk, isa dan irama yang kita dapati di zaman sekarang ini, baik yang menjadi milik badan-badan perguruan partikelir maupun yang dipelihara oleh Kementerian P.P dan K, pada umumnya masih merupakan doordruk (sekalipun doordruk yang sudah dikoreksi di sana-sini) dari sekolah-sekolah yang terpakai dalam sistem Belanda. Malah kadang-kadang masih nampak juga, sekalipun suram-suram, tendens-tendes yang materialistis dan . . . . kolonial. Saya mengerti, Saudara Ketua, bahwa rakyat kita merasa wajib, segera atau dalam waktu yang singkat melakukan pembangunan di lapangan pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi tidak ada contoh-contoh yang positif, yang lebih baik dan cepat kita tiru. Kita lihat di zaman sekarang masih dipakainya bentuk-bentuk rumah sekolah, daftar-daftar pelajaran yang tidak cukup memberi semangat mencari ilmu pengetahuan sendiri, karena tiap-tiap hari, tiap-tiap triwulan, tiap tahun pelajarpelajar kita terus terancam oleh sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualis. Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar belajar dengan tentram, karena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutantuntutannya. 

Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaannya; sebaliknya, mereka belajar untuk dapat nilai-nilai yang tinggi dalam school raportnya atau untuk dapat ijazah. Dalam soal ini sebaliknyalah kita para pemimpin perguruan, bersama-sama dengan Kementerian P.P. dan K. mencari bagaimana caranya kita dapat memberantas penyakit exam cultus dan diploma jacht itu. Saudara Ketua, saya sendiri sebagai pemimpin perguran menyadari, bahwa maksud-maksud yang baik dari para perintis acapkali gagal, tidak berdaya untuk mempengaruhi masyarakat yang sudah terlanjur dalam batinnya terikat oleh bentuk, isi dan irama yang ada di dalam sistem-sistem pendidikan dan pengajaran secara Barat, sekalipun masyarakat tadi insyaf benar-benar, bahwa siswa pendidikan Barat tersebut sebenarnya tidak cocok dengan kebutuhan hidup kita, baik lahir maupun batin. Syukurlah sejak tercapainya kemerdekaan nusa dan bangsa kita, tampak adanya keinginan, kehendak, bahkan hasrat dari berbagai golongan rakyat, untuk memperbaiki segala apa yang tidak atau kurang beres itu. Syukurlah pula, bahwa Kementerian P.P. dan K. kita, yang berturut-turut dipimpin oleh orang-orang yang ahli, makin lama makin nampak keinsyafannya dan kesadarannya untuk mengadakan perubahan-perubahan yang perlu-perlu. 

Sudara Ketua, janganlah sekali-kali orang mengira, bahwa kita harus menolak pengaruh-pengaruh kultural dari dunia luar umumnya, dunia Barat khususnya. Jangan sekali-kali! Sebaliknya janganlah kita memasukan bentuk, isi dan irama dari luar yang tidak perlu. Dalam hal ini kita wajib mewujudkan kepada dunia, bahwa kita cukup bebas dan merdeka serta berdaulat, untuk memilih sendiri segala apa yang kita perlukan. Indonesia bukan Nederland, bukan Inggris, bukan Amerika. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Padang. . . . bukan Amsterdam, Leiden, Utrecht, Groningan, bukan juga London, Cambridge, bukan juga kota-kota universitas Amerika. Memang benar, kita harus meniru segala apa yang baik dari negeri manapun. Ambliah sifat-sifat dasar yang ada di seluruh dunia, yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan nasional kita. Sebaliknya, rakyat kita harus berani, sanggup dan mampu untuk mewujudkan bentuk sendiri, isi sendiri dan irama sendiri, seperti yang layak boleh diharapharapkan dari bangsa yang telah memasuki dunia internasional, tetapi sebagai bangsa yang berpribadi. 

 Marilah sekarang kita meninjau secara singkat berturut-turut soal-soal Politik Pendidikan Kolonial zaman V.O.C serta rumusan dalil-dalil mengenai Pendidikan dan Pendidikan Nasional, serta Kebudayaan. POLITIK PENDIDIKAN KOLONIAL DI ZAMAN VOC DAN HINDIA BELANDA Pada zaman beralihnya V.O.C (Vereenigde Osst-Indische Compagnie) menjadi pemerintah “Hindia Belanda”, maka sebenarnya sekali-kali tidak ada perubahan sikap dan tindakan terhadap segala urusan tanah air kita. Pada hakekatnya pemerintah HB (Hindia Belanda) merupakan konsolidasi dari segala apa yang tadinya dilakukan oleh VOC tersebut. Baru sesudah nampak adanya kebangunan nasional pada permulaan abad ke-20, bersama waktu dengan mulai tumbuhnya aliran “kolonial modern”, yang disebut ethisce koers atau ethisce politiek di Nederland, barulah nampak adanya perubahan dalam sikap pemerintah kolonial. Sayang hanya mengenai beberapa hal; antara lain yang bertali dengan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat, hal mana kini akan kami jelaskan lebih lanjut. Seperti diketahui maka dalam zaman OIC (Oost Indische Compagnie) bangsa Belanda menganggap tanah air kita semata-mata sebagai obyek perdagangan. Mencari dan mendapatkan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya itulah maksud dan tujuan dari segala usahanya dalam segala lapangan. Tidak lebih dan tidak kurang. Pendidikan dan pengajaran diserahkan sama sekali kepada para pendeta Kristen. Kemudian ada instruksi yang menegaskan, bahwa kepada fihak rakyat hendaknya diberi pengajaran membaca, menulis dan berhitung, akan tetapi hanya seperlunya saja dan melulu untuk mendidik orang-orang pembantu dalam beberapa usahanya. Jadi semata-mata guna memperbesar keuntungan perusahaan-perusahaannya sendiri. Para zaman Napoleon Bonaparte jatuh kekuasaannya, dan pemerintah Nederland dibentuk kembali (tahun 1816), maka di negeri kita Indonesia oleh pemerintah HB diadakan peraturan-peraturan pemerintah pokok, semacam “Undang-Undang Dasar” (yang disebut Regeeringsreglement, singkatan dari Replacement op het beleid van de Regeering van Nederlands Indie). Dalam R.R 1818 itu mulai disebut tentang pemeliharaan pengajaran, akan tetapi tidak pernah dilakukan. Pada tahun 1836 dirubah dan dalam R.R 1836 tadi sama sekali tidak disebut-sebut lagi tentang pangajaran. Baru dalam R.R 1854 terdapat pasal-pasal yang mengenai pendidikan dan pangajaran. Diantaranya dicantumkan pasal 125 yang berbunyi: Het openbaar onderwijs vormteen voorwerp van aanhoudende zorg van de gouyerneur general (Pengajran negeri adalah hal yang senantiasa menjadi perhatian gubernur-jendral). Ketetapan ini sungguh baik, akan tetapi pasal-pasal berikut berikutnya membuktikan jiwa kolonialnya pemerintah HB. Pasal 126 misalnya menetapkan, bahwa pemberian pengajaran kepada anak-anak bangsa Eropa dibolehkan secara bebas (Het onderwijs aan Europeanen is vrij). Pasal 127 berbunyi selengkapnya: Voldoend openbaar lager onderwijs moet worden gegevan overall, waar de beoefte der Europeses bevolking dit voderet en de omstandingheden het teolaten, yang artinya ialah sedapat-dapatnya harus ada pemberian pengajaran rendah dari pemerintah yang mencukupi kebutuhan penduduk bangsa Eropa. Teranglah di situ maksudnya: jangan sampai ada anak-anak bangsa Eropa tidak mendapatkan pengajaran. 

Bagaimanakah sikap pemerintah HB terhadap anakanak Indonesia? Pasal 128 dalam soal itu menyebutkan: De goeverneur-general zorgt voor de oprichting van scholen tendeinste van de Indlandse bevoking, dan ini berarti untuk rakyat gubernur-jenderal diserahi untuk mendirikan sekolah-sekolah. Lain tidak; lebih daripada mendirikan pun tidak. Tak ada disebut-sebut di situ tentang keharusan, tentang kebutuhan, tentang perlunya ada udaha yang mencakup dan lain-lain sebagainya. Pada waktu itu ada beberapa bupati mendirikan “sekolah-sekolah kabupaten”, tetapi hanya untuk mendidik calon-calon pegawai. Kemudian lahir, Reglement voor het Inlands onderwijs; lalu didirikan sekolah guru di Sala, yang kemudian pindah ke Magelang, lalu ke Bandung (1866). Dengan berangsur-angsur dapat didirikan “sekolah-sekolah bumiputera”, yang hanya mempunyai 3 kelas, sedang gurunya seorang dari Kweekschool, dan lain-lainnya (pembantu) berasal dari “sekolah bumiputera” itu juga, sesudah mendapatkan didikan tambahan. Maksud dan tujuan dari segala usaha itu tetap untuk mendidik calon-calon pegawai negeri dan pembantu-pembantu perusahaan-perusahaan kepunyaan Belanda. Maksud dan tujuan tersebut tidak berubah, ketika pemerintah memberi kelonggaran kepada anak-anak Indonesia, untuk memasuki Europeesche Lagere School, karena yang dibolehkan ialah hanya calon-calon murid “dokter Jawa”, murid Hoofdenschool. Suatu bukti bahwa pemerintah Belanda semata-mata mementingkan pendidikan calon-calon pegawai negeri, ialah adanya ujian, yang sangat digemari oleh anak-anak bumiputera, yang disebut Kleinambtenaarsexamen. ZAMAN ETHIK DAN KEBANGUNAN NASIONAL Haluan daripada sistem pendidikan, yang diadakan oleh pihak Belanda seperti tergambar di atas itu, tetapi harus mempengaruhi segala usaha pendidikan. Juga yang dilakukan sesudah aliran Etihische politiek atau Etishche koers timbul, pada permulaan abad ke-20 (dan sebenarnya sebagai akibat “Kebangunan Nasional” pada permulaan abad ke-20). Haluan tadi boleh digambarkan sebagai haluan “kolonial lunak”, yang dalam sistem pendidikannya tetap menunjukan sifat “intelektualistis”, pula “individualistis” dan “materialistis”. Sekali-kali tidak mengandung cita-cita kebudayaan. Pada hal pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Juga sekolah-sekolah yang didirikan oleh bangsa kita sendiri (sesudah menginjak ke dalam zaman “Kebangunan Nasional”) tidak dapat melepaskan diri dari belenggu intelektualisme, individualisme, materialisme dan kolonialisme tadi. Sungguhpun cita-cita Raden Ajeng Kartini (1900) sudah mulai mengandung jiwa nasional dan cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo (1908) sudah membayangkan aliran kultural namun organisasi teknik pendidikan dan pengajaran tetap tak berubah. Masuknya anasir kebudayaan ke dalam sekolah-sekolah yang bermaksud mewujudkan perguruan kebangsaan, pula masuknya anasir-anasir agama ke dalam sekolahsekolah Islam, tidak dapat menghapuskan corak warna jiwa kolonial dengan sekaligus. ZAMAN BANGKITNYA JIWA MERDEKA Baru pada tahun 1920 timbullah cita-cita baru, yang menghendaki perubahan radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran. Cita-cita baru tadi seakanakan merupakan gabungan kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Idamidaman kemerdekaan nusa dan bangsa sebagai jaminan kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa, itulah pokok sistem pendidikan dan pengajaran, yang pada tahun 1922 dapat tercipta oleh “Tamansiswa” di Yogyakarta. Bahwa aliran Tamansiswa itu sebenarnya sudah terkandung dalam jiwa rakyata di seluruh tanah air kita, adalah terbukti dengan berdirinya perguruan-perguruan Tamansiswa di seluruh kepulauan Indonesia: di Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, SUnda Kecil dan Maluku. Juga sekolah-sekolah yang berdasarkan “keagamaan” (Islam, Kristen, Katolik), asalkan berani berdiri sebagai sekolah partikelir yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, di samping dasar-dasar keagamaannya masing-masing, memasukan juga dasar dan semangat revolusioner. Dengan begitu, maka gerakan pendidikan berlaku sejalan dengan gerakan politik, dan inilah yang menyebabkan amat banyak orang-orang bekas murid nasional tadi (tidak hanya yang terdidik dalam perguruan Tamansiswa saja) kini secara bermanfaat dan efisien dapat ikut serta dalam segala usaha kenegaraan baik dalam gerakan revolusi maupan dalam usaha pembangunan bangsa dan negara. TENTANG PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NASIONAL Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek), dan jasmani anak-anak. Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya. 

Karena itulah pasal-pasal di bawah ini harus kita pentingkan: 1. Segala syarat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan. 2. Kodratnya keadaan tadi ada tersimpan dalam adat istiadat masing-masing rakyat, yang karenanya tergolong-golong menjadi “bangsa-bangsa” dengan sifatnya perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari campurnya semua daya upaya untuk mendapatkan hidup tertib damai. 3. Adat istiadat, sebagai sifat daya upaya akan tertibnya damai itu, tiada luput dari pengaruh “zaman” dan “alam” karena itu tidak tetap, akan tetapi senantiasa berubah, bentuk, isi dan iramanya. 4. Akan mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, perlulah kita mengetahui zaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya zaman itu, ke dalam zaman sekarang, mengetahui zaman yang berlaku ini, lalu dapat insyallah kita akan zaman yang akan datang. 5. Pengaruh baru adalah terjadinya dari bergaulnya bangsa yang satu dengan yang lain, pergaulan mana pada sekarang mudah sekali, terbawa dari adanya perhubungan modern. Haruslah kita awas, akan dapat memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita, mana yang merugikan pada kita, dengan selalu mengingati bahwa semua kemajuan ilmu pengetahun dan segala perikehidupan itu adalah kemurahan Tuhan untuk segenap umat manusia di seluruh dunia, meskipun hidupnya masingmasing menurut garis sendiri yang tetap. Jika kita tidak boleh menolaknya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk), yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Pendidikan budi pekerti harus menggunakan syarat-syarat sesuai dengan ruh kebangsaan, menuju ke arah keluhuran dan kesucian hidup bati, serta ketertiban dan kedamaian hidup lahir; baik syarat-syarat baru yang berfaedah untuk maksud dan tujuan kita. Teristimewa haruslah kita mementingkan pangkal kehidupan kita yang terus hidup dalam kesenian, peradaban dan keagamaan kita; atau terdapat dalam kitab-kitab cerita (dongeng-dongeng, mite, legenda, babad dan lain-lain). Semua itu adalah “arsip nasional”, dalam mana ada tersimpan berbagai “kekayaan batin” dari bangsa kita. 

Dengan mengetahui segalanya itu, niscayalah langkah kita menuju ke arah zaman baru akan berhasil tetap dan kekal, karena zaman baru kita “dijodohkan” sebagai “mempelai” dengan zaman yang lalu. Berhubung dengan apa yang tersebut di atas, perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya dapat “pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, namun juga dapat “mengalami” sendiri dan kemudian tidak hidup berpisah dengan rakyatnya. Karena itu seyogyanyalah kita mengutamakan cara “pondok sistem”, berdasarkan hidup kekeluargaan, untuk mempersatukan pengajaran pengetahuan dengan pengajaran budi pekerti, sistem mana dalam sejarah kebudayaaan bangsa kita bukan barang asing. Dahulu bernama “asrama”, kemudian di zaman Islam menjelma jadi “pondok pesantren”. Pengajaran pengetahuan adalah sebagian dari pendidikan, yang terutama dipergunakan untuk mendidik pikiran; dan ini perlu sekali, tidak saja untuk memajukan kecerdasan batin, namun pula untuk melancarkan hidup pada umumnya. 

Seyogyanyalah pendidikan pikiran ini dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya, agar anak-anak kelak dapat membangun perikehidupannya lahir dan batin dengan sebaik-baiknya. Pendidikan jasmani yang pada zaman dahulu kala juga tidak asing, harus dipertimbangkan untuk kesehatan diri sendiri dan untuk mendapatkan turunan yang kuat. TENTANG KEBUDAYAAN Kebudayaan, yang berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai-bagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. 1. Sebagai buah perjuangan manusia yang barada di dalam satu alam dan satu zaman, maka kebudayaan itu selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan sifat atau watak, yakni kepribadian bangsa. Dan inilah sifat kemerdekaan kebangsaan dalam arti kultural. 2. Tiap-tiap kebudayaan menunjukan indah dan tingginya adab kemanusiaan pada hidupnya masing-masing bangsa yang memilikinya; dalam hal ini keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu dipakainya sebagai ukuran. 3. Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap segala kekuatan alam dan zaman, selalu memudahkan dan melancarkan hidup serta memberi alat-alat baru untuk meneruskan kemajuan hidup; sedang memudahkan serta memajukan berarti pula memfaedahkan dan mempertinggi hidup. Hidup tumbuhnya kebudayaan, sebagi buah budi manusia, kebudaayan tidak terluput dari segala kejadian dan tabiat yang ada pada hidup manusia: 1. Lahir, bertumbuh, maju, berkembang, berbuah, sakit, menjadi tua, mundur dan mati. 2. Kawin dan berketurunan: a. Secara “asosiasi”, yakni berkumpul tetapi tidak bersatu, kerapkali menurunkan bastaard, yakni bersifat campuran dan kadang-kadang menunjukan kemunduran atau dekadensi. b. Secara “asimilasi”, yakni bersatu padu atau manunggil dan biasanya menurunkan “angkatan baru yang murni” 3. Mengalami seleksi: apa ang kuat terus hidup, yang lemah mati. Setelah hukum evolusi lain-lainnya tak dapat dihindari di dalam hidup kebudayaan. Maka kebudayaan (cultural, cultivare, colere) ialah memelihara serta memajukan hidup manusia ke arah keadaban. 

Dalam pada itu termasuk pula pengertian “memuja-muja” (cultus, vereering) dan inilah yang kerapkali menyebabkan hidup bekunya (verstaaring) kebudayaan. Karena itu haruslah selalu diingat: 1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan menyesuaikan kebudayaan dengan tiap-tiap pergantian alam dan zaman. 2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan matinya, maka harus selalu ada hubungan antara kebudayaan dengan kodrat dan masyarakat. 3. Pembaruan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaan lain yang dapat mengembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri. 4. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuitet) menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitet). Kebudayaan Indonesia yang sekarang masih berupa berkumpulnya segala kebudayaan untuk seluruh rakyat. 1. Berhubung dengan tetap adanya kesatuan alam dan zaman, kesatuan sejarah (dulu dan sekarang), kesatuan masyarakat dan lain-lainnya, maka kesatuan kebudayaan Indonesia hanya soal waktu. 2. Sebagai bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia perlulah segala sari-sari serta puncak-puncak kebudayaan yang teradapat di seluruh daerah Indonesia dipergunakan untuk menjadi modal isinya. 3. Dari luar lingkungan kebangsaan perlu pula diambil bahan-bahan yang dapat memperkembangkan dan/atau memperkaya kebudayaan kita sendiri. 4. Dalam memasukan bahan-bahan, baik dari kebudayaan daerah-daerah maupan dari kebudayaan asing, perlu senantiasa diingat syarat-syarat kontinuited, konvergensi dan konsentrisitet tersebut di muka. 5. Jangan dilupakan, bahwa kemerdekaan bangsa tidak cukup hanya berupa kemerdekaan politik, tetapi harus berarti pula kesanggupan dan kemampuan mewujudkan kemerdekaan kebudayaan bangsa, yakni kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya, di atas dasar adab kemanusiaan yang luas, luhur dan dalam. 

Sekianlah Saudara Ketua, kata sambutan kami atas uraian Presiden Universitas Sdr. Prof. Dr. Sardjito. Pidato kami tadi semata-mata berujud dank-rede, tetapi kami maksudkan sebagai penjelasan dan sementara tambahan yang perlu-perlu, supaya para anggota Senat, Dewan Kurator, para Guru Besar dan Dwijawara lainnya, pula para Sarjana dan Siswa-siswa Universitas dapat mengetahuinynya. Jika ada perkataan-perkataan yang janggal, kami minta maaf sebanyakbanyaknya. Saya tutup kata penyambutan kami ini dengan sekali lagi mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kemurahan hati Senat Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada kami. Kepada Saudara Prof. Dr. Sardjito pula saya menyatakan rasa penghargaan yang sedalamdalamnya untuk pidatonya yang telah beliau ucapakan secara tulus ikhlas tadi. Semoga Tuhan membalas segala budi baik itu.


Dasar Dasar Pendidikan 

1. Arti dan Masksud Pendidikan Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersamasama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas. Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syaratsyarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama. Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. 

2. Hanya Tuntunan dalam Hidup Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda 2 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatankekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodratiradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil. Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar. 

3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu? Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang- 3 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara orang jahat. Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat. Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuhkembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya. 

4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir 4 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan. Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruhpengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruhpengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan. Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram. 

5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup. Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa. Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan 5 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri. Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri. 

6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan. Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiattabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), 6 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi. Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika. Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiranperasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa. 

7. Jenis-Jenis Budi Pekerti Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum. Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). 7 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang. Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch). Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budipekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya. Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendektingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti. 8. Naluri Pendidikan Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan 

 8 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort). Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig). 

9. Syarat-Syarat Pengetahuan Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu: 1. Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie); 2. Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie); 3. Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral); 4. Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika); 5. Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan) Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2. 9 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiranukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4) Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik. Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang. 

10. Peralatan Pendidikan Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni caracara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut: 1. Memberi contoh (voorbeld); 2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming) 3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering) 4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht); 5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline); 6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving). Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaankeadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik. 11. Hubungan dengan Umur Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa 10 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode). Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut: a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2; b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4; c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6


1 Lampiran 2. Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1 Oktober 1928  

Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak Permainan Anak Adalah Pendidikan 

Barangkali pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS. Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik). Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya. Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki. Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain) Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. 2 | Sub-Module 1: Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional: Ki Hadjar Dewantara Frobel. Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir untuk mendidik batin. Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta. Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur. 

Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut: a. Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan. b. Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anakanak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah. c. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak. Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga  Ki Hadjar Dewantara permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur. Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa. Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri. Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu. Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan”. Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.